Kamis, 22 Desember 2011

Bab VI Pelapisan sosial

6.3.2 Contoh Di Masyarakat

Idi Subandi Ibrahim pernah menyunting sebuah kumpulan tulisan tentang kebudayaan massa di Indonesia yang diberi judul Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia (Mizan, Bandung, 1997) sembari menanyakan keberadaan moralitas di dalamnya. Terlepas dari apapun moralitas yang dipertanyakan dalam produk-produk kebudayaan massa, dalam Lubang Hitam Kebudayaan (Kanisius, Yogyakarta, 2002) hasil penelitian Hikmat Budiman, generasi yang lahir dan tumbuh di dalam kebudayaan tersebut di Indonesia ini justru telah berperan penting menjatuhkan Suharto dari kekuasaannya pada tahun 1998. Generasi itu, dengan mengutip istilah Bre Redana, seorang wartawan Kompas, olehnya disebut sebagai “Generasi MTV.”

Penerbit Jalasutra akhirnya menerbitkan kembali kumpulan tulisan tersebut. Ada 24 tulisan di dalamnya ditambah semacam “Kata Pengantar” oleh penyunting. Beberapa kontributor antara lain—dapat disebutkan di sini—Ariel Heryanto, Ashadi Siregar, Bre Redana, Clifford Geertz, Danarto, Darmanto Jatman, Jalaluddin Rahmat, Keith Foulcher, Kuntowijoyo, Marwah Daud Ibrahim, Masri Singarimbun, Sapardi Djoko Damono, Sarlito Wirawan Sarwono, Umar Kayam, dan Yasraf Amir Piliang. Kesemuanya itu dibagi dalam empat bagian, yakni “Budaya Massa atau Budaya Pop: Sebuah Pendahuluan,” “Budaya Media dan Budaya Citra,” “Budaya Simbolik dan Komodifikasi Gaya Hidup,” dan “Hegemoni Kesadaran dan Industri Budaya Kapitalisme.”

Mengenai “kebudayaan massa”, ini adalah istilah kita untuk mass culture. Istilah Inggris ini konon berasal dari bahasa Jerman Masse dan Kultur. Sebenarnya istilah “kebudayaan massa” sendiri merupakan istilah yang mengandung nada mengejek atau merendahkan. Istilah ini merupakan pasangan dari high culture, “kebudayaan elite” atau “kebudayaan tinggi.”

Biasanya, istilah “kebudayaan tinggi” diacukan tidak hanya ke berbagai jenis kesenian produk simbolik yang menjadi pilihan kaum elit terpelajar dalam masyarakat Barat, tetapi juga ke segala sesuatu yang ada kaitannya dalam pikiran dan perasaan mereka yang memilih jenis kesenian dan produk simbolik tersebut. Sebaliknya, “mass” atau “masse” mengacu ke mayoritas masyarakat Eropa yang tak-terpelajar dan non-aristokratik, terutama sekali masyarakat yang sekarang ini biasa kita sebut sebagai kelas menengah bawah, kelas pekerja, dan kaum miskin. Dengan demikian, jika “kebudayaan tinggi” dikaitkan dengan mereka yang “berbudaya”, yang elit dan terpelajar, maka istilah “kebudayaan massa” dianggap milik mayoritas masyarakat tak berbudaya dan tak-terpelajar.

Dalam sosiologi, istilah “massa” mengandung pengertian kelompok manusia yang tak bisa dipilah-pilah, bahkan semacam kerumunan (crowd) yang bersifat sementara dan dapat dikatakan: segera mati. Dalam kelompok manusia yang seperti ini, identitas seseorang biasanya tenggelam. Masing-masing akan mudah sekali meniru tingkah laku orang-orang lain yang “sekerumunan.” Puncak dari tingkah laku mereka akan dilalui, katakanlah maksudnya selesai, apabila secara fisik mereka sudah lelah dan tujuan bersamanya tercapai.

Begitu pula halnya dengan kebudayaan. Kebudayaan massa lebih kurang menunjuk pada berbagai produk dan praktek-praktek kultural yang melibatkan sekumpulan besar orang tanpa organisasi sosial, adat, tradisi, struktur peran dan status, tidak memiliki kompetensi dalam menilai kualitas suatu produk budaya, dan juga...berselera dangkal! Bagi mereka yang “terjerat” di dalamnya, produk-produk dari kebudayaan massa adalah komoditas yang semata-mata ditujukan untuk konsumsi, (dan celakanya) tanpa mereka sendiri memiliki kesanggupan untuk menolaknya—meskipun umur produk-produk itu relatif sementara.

Bagaimana kita dapat mengenali produk-produk dan/atau praktek-prakteknya? Untuk mengenalinya, menurut Kuntowijoyo dalam tulisannya (“Budaya Elite dan Budaya Massa”), kita dapat lihat dari ciri-ciri yang selalu menyertainya. Sebab kebudayaan massa adalah akibat dari massifikasi. Adapun massifikasi sendiri, terjadi bila orang kebanyakan memakai simbol lapisan atas melalui proses industrialisasi dan komersialisasi dalam sektor budaya, sekalipun industrialisasi dan komersialisasi tidak selalu berarti negatif bagi budaya.

Ciri pertama adalah objektivasi; artinya, pemilik hanya menjadi objek, yaitu penderita yang tidak mempunyai peran apa-apa dalam pembentukan simbol budaya. Ia hanya menerima produk budaya sebagai barang jadi yang tidak boleh berperan dalam bentuk apapun. Ciri kedua adalah alienasi; artinya pemilik budaya massa akan terasing dari dan dalam kenyataan hidup. Dengan demikian ia juga kehilangan dirinya sendiri dan larut dalam kenyataan yang ditawarkan produk budaya. Dan ciri ketiga (ciri terakhir) adalah pembodohan, yang terjadi karena waktu terbuang tanpa mendapatkan pengalaman baru yang dapat dipetik sebagai pelajaran hidup yang berguna jika ia mengalami hal serupa.

Senada dengan itu, Sapardi Djoko Damono dalam tulisannya (“Kebudayaan Massa dalam Kebudayaan Indonesia: Sebuah Catatan Kecil”) mengatakan bahwa, pada hakikatnya yang kita risaukan adalah kebudayaan massa ini yang, sebagai akibat dari semakin berkembangnya komunikasi, memang tak dapat dihindari. Menurutnya, ada beberapa hal yang menyebabkan kerisauan kita itu: (1) kebudayaan massa diproduksi secara besar-besaran berdasarkan perhitungan dagang belaka, (2) kebudayaan massa itu merusak kebudayaan tinggi dengan cara meminjam atau mencuri atau memperalatnya, (3) kebudayaan massa menanamkan pengaruh yang sangat buruk terhadap khalayak, dan (4) penyebarluasan kebudayaan massa dianggap tidak hanya memerosotkan atau mengurangi nilai kebudayaan (tinggi) itu sendiri tapi juga menciptakan khalayak yang pasif yang sangat tanggap terhadap berbagai teknik godaan dan bujukan, sehingga membuat peluang bagi munculnya totalitarianisme.

Lantas, bagaimana kita mengenali produk-produk kebudayaan tinggi? Dalam kebudayaan tinggi, pemiliknya (1) tetap menjadi pelaku (subjek budaya); (2) tidak mengalami alienasi, dan jati dirinya tetap; serta (3) akan mengalami pencerdasan.

Bahwa pemiliknya menjadi pelaku, artinya menjadi orang yang utuh, yang identitasnya tidak tenggelam dalam budaya. Ia tetap menjadi dirinya sendiri dan ia pun berhak penuh untuk menafsirkan apa yang dialaminya. Ia tidak larut dalam objeknya, tetapi tetap menjadi subjek. Akibatnya, pemilik sekaligus pelakunya tidak mengalami alienasi. Ia akan merasa akrab dengan kehidupan, sebab disuguhkan realitas tanpa polesan. Karena menjadi pelaku yang utuh dan tak teralienasi, maka ia akan mengalami pencerdasan. Ia pun akan mendapatkan kebijaksanaan dan menjadi lebih pandai dari sebelumnya.

Sayangnya, menurut Ashadi Siregar, istilah kebudayaan massa sering disaling-pertukarkan dengan kebudayaan pop(uler), termasuk oleh penyunting buku ini. Sebab, berdasarkan pandangan MacDonald yang dikutip Hikmat Budiman dalam Lubang Hitam Kebudayaan (hal.114) tadi, keduanya memiliki perbedaan yang sering tak disadari oleh banyak orang. Pembeda paling penting di antara keduanya tidak terutama terletak pada jumlah khalayak yang menerimanya, melainkan lebih pada motif di belakang produksi yang menghasilkan dua jenis produk budaya tersebut. Budaya massa jelas budaya yang semata-mata dan secara langsung merupakan objek untuk konsumsi massa, sedangkan budaya populer tak melulu hanya dikonsumsi massa tapi juga sering dikonsumsi oleh kalangan elit-terpelajar.

Sebagai sebuah kumpulan tulisan, buku ini merupakan pengantar-memadai untuk mengenal kebudayaan massa berikut contoh-contohnya yang berkembang di Indonesia ini. Menariknya, contoh-contoh tersebut diberikan sekaligus dianalisis oleh para ahli di bidangnya. Misalnya, Clifford Geertz yang mengambil contoh “kesenian populer” dalam tradisi Jawa; Kuntowijoyo yang mengambil contoh pergeseran sensibilitas pers masa Orde Baru; Umar Kayam yang menggambarkan secara ringkas perkembangan kebudayaan massa dalam film, musik, seni pertunjukan, dan sastra; Marwah Daud Ibrahim, Danarto, Krishna Sen, dan Saraswati Sunindyo yang membahas citra wanita dalam berbagai media; atau Ashadi Siregar, Sarlito W. Sarwono dan Jalaluddin Rahmat yang mengangkat contoh gaya hidup anak muda sekarang ini; dan tak ketinggalan adalah Bre Redana serta Yasraf Amir Piliang yang membahas gaya hidup konsumerisme berikut motif di belakangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar