6.3.2 Contoh Di Masyarakat
Idi  Subandi Ibrahim pernah menyunting sebuah kumpulan tulisan tentang  kebudayaan massa di Indonesia yang diberi judul Ecstasy Gaya Hidup:  Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia  (Mizan, Bandung,  1997) sembari menanyakan keberadaan moralitas di dalamnya. Terlepas dari  apapun moralitas yang dipertanyakan dalam produk-produk kebudayaan  massa, dalam Lubang Hitam Kebudayaan (Kanisius, Yogyakarta, 2002) hasil  penelitian Hikmat Budiman, generasi yang lahir dan tumbuh di dalam  kebudayaan tersebut di Indonesia ini justru telah berperan penting  menjatuhkan Suharto dari kekuasaannya pada tahun 1998. Generasi itu,  dengan mengutip istilah Bre Redana, seorang wartawan Kompas, olehnya  disebut sebagai “Generasi MTV.” 
Penerbit Jalasutra akhirnya menerbitkan kembali kumpulan tulisan  tersebut. Ada 24 tulisan di dalamnya ditambah semacam “Kata Pengantar”  oleh penyunting. Beberapa kontributor antara lain—dapat disebutkan di  sini—Ariel Heryanto, Ashadi Siregar, Bre Redana, Clifford Geertz,  Danarto, Darmanto Jatman, Jalaluddin Rahmat, Keith Foulcher,  Kuntowijoyo, Marwah Daud Ibrahim, Masri Singarimbun, Sapardi Djoko  Damono, Sarlito Wirawan Sarwono, Umar Kayam, dan Yasraf Amir Piliang.  Kesemuanya itu dibagi dalam empat bagian, yakni “Budaya Massa atau  Budaya Pop: Sebuah Pendahuluan,” “Budaya Media dan Budaya Citra,”  “Budaya Simbolik dan Komodifikasi Gaya Hidup,” dan “Hegemoni Kesadaran  dan Industri Budaya Kapitalisme.”
Mengenai “kebudayaan massa”, ini adalah istilah kita untuk mass culture.  Istilah Inggris ini konon berasal dari bahasa Jerman Masse dan Kultur.  Sebenarnya istilah “kebudayaan massa” sendiri merupakan istilah yang  mengandung nada mengejek atau merendahkan. Istilah ini merupakan  pasangan dari high culture, “kebudayaan elite” atau “kebudayaan tinggi.”
Biasanya, istilah “kebudayaan tinggi” diacukan tidak hanya ke berbagai  jenis kesenian produk simbolik yang menjadi pilihan kaum elit terpelajar  dalam masyarakat Barat, tetapi juga ke segala sesuatu yang ada  kaitannya dalam pikiran dan perasaan mereka yang memilih jenis kesenian  dan produk simbolik tersebut. Sebaliknya, “mass” atau “masse” mengacu ke  mayoritas masyarakat Eropa yang tak-terpelajar dan non-aristokratik,  terutama sekali masyarakat yang sekarang ini biasa kita sebut sebagai  kelas menengah bawah, kelas pekerja, dan kaum miskin. Dengan demikian,  jika “kebudayaan tinggi” dikaitkan dengan mereka yang “berbudaya”, yang  elit dan terpelajar, maka istilah “kebudayaan massa” dianggap milik  mayoritas masyarakat tak berbudaya dan tak-terpelajar.
Dalam sosiologi, istilah “massa” mengandung pengertian kelompok manusia  yang tak bisa dipilah-pilah, bahkan semacam kerumunan (crowd) yang  bersifat sementara dan dapat dikatakan: segera mati. Dalam kelompok  manusia yang seperti ini, identitas seseorang biasanya tenggelam.  Masing-masing akan mudah sekali meniru tingkah laku orang-orang lain  yang “sekerumunan.” Puncak dari tingkah laku mereka akan dilalui,  katakanlah maksudnya selesai, apabila secara fisik mereka sudah lelah  dan tujuan bersamanya tercapai.
Begitu pula halnya dengan kebudayaan. Kebudayaan massa lebih kurang  menunjuk pada berbagai produk dan praktek-praktek kultural yang  melibatkan sekumpulan besar orang tanpa organisasi sosial, adat,  tradisi, struktur peran dan status, tidak memiliki kompetensi dalam  menilai kualitas suatu produk budaya, dan juga...berselera dangkal! Bagi  mereka yang “terjerat” di dalamnya, produk-produk dari kebudayaan massa  adalah komoditas yang semata-mata ditujukan untuk konsumsi, (dan  celakanya) tanpa mereka sendiri memiliki kesanggupan untuk  menolaknya—meskipun umur produk-produk itu relatif sementara.
Bagaimana kita dapat mengenali produk-produk dan/atau  praktek-prakteknya? Untuk mengenalinya, menurut Kuntowijoyo dalam  tulisannya (“Budaya Elite dan Budaya Massa”), kita dapat lihat dari  ciri-ciri yang selalu menyertainya. Sebab kebudayaan massa adalah akibat  dari massifikasi. Adapun massifikasi sendiri, terjadi bila orang  kebanyakan memakai simbol lapisan atas melalui proses industrialisasi  dan komersialisasi dalam sektor budaya, sekalipun industrialisasi dan  komersialisasi tidak selalu berarti negatif bagi budaya. 
Ciri pertama adalah objektivasi; artinya, pemilik hanya menjadi objek,  yaitu penderita yang tidak mempunyai peran apa-apa dalam pembentukan  simbol budaya. Ia hanya menerima produk budaya sebagai barang jadi yang  tidak boleh berperan dalam bentuk apapun. Ciri kedua adalah alienasi;  artinya pemilik budaya massa akan terasing dari dan dalam kenyataan  hidup. Dengan demikian ia juga kehilangan dirinya sendiri dan larut  dalam kenyataan yang ditawarkan produk budaya. Dan ciri ketiga (ciri  terakhir) adalah pembodohan, yang terjadi karena waktu terbuang tanpa  mendapatkan pengalaman baru yang dapat dipetik sebagai pelajaran hidup  yang berguna jika ia mengalami hal serupa.
Senada dengan itu, Sapardi Djoko Damono dalam tulisannya (“Kebudayaan  Massa dalam Kebudayaan Indonesia: Sebuah Catatan Kecil”) mengatakan  bahwa, pada hakikatnya yang kita risaukan adalah kebudayaan massa ini  yang, sebagai akibat dari semakin berkembangnya komunikasi, memang tak  dapat dihindari. Menurutnya, ada beberapa hal yang menyebabkan kerisauan  kita itu: (1) kebudayaan massa diproduksi secara besar-besaran  berdasarkan perhitungan dagang belaka, (2) kebudayaan massa itu merusak  kebudayaan tinggi dengan cara meminjam atau mencuri atau memperalatnya,  (3) kebudayaan massa menanamkan pengaruh yang sangat buruk terhadap  khalayak, dan (4) penyebarluasan kebudayaan massa dianggap tidak hanya  memerosotkan atau mengurangi nilai kebudayaan (tinggi) itu sendiri tapi  juga menciptakan khalayak yang pasif yang sangat tanggap terhadap  berbagai teknik godaan dan bujukan, sehingga membuat peluang bagi  munculnya totalitarianisme.
Lantas, bagaimana kita mengenali produk-produk kebudayaan tinggi? Dalam  kebudayaan tinggi, pemiliknya (1) tetap menjadi pelaku (subjek budaya);  (2) tidak mengalami alienasi, dan jati dirinya tetap; serta (3) akan  mengalami pencerdasan. 
Bahwa pemiliknya menjadi pelaku, artinya menjadi orang yang utuh, yang  identitasnya tidak tenggelam dalam budaya. Ia tetap menjadi dirinya  sendiri dan ia pun berhak penuh untuk menafsirkan apa yang dialaminya.  Ia tidak larut dalam objeknya, tetapi tetap menjadi subjek. Akibatnya,  pemilik sekaligus pelakunya tidak mengalami alienasi. Ia akan merasa  akrab dengan kehidupan, sebab disuguhkan realitas tanpa polesan. Karena  menjadi pelaku yang utuh dan tak teralienasi, maka ia akan mengalami  pencerdasan. Ia pun akan mendapatkan kebijaksanaan dan menjadi lebih  pandai dari sebelumnya.
Sayangnya, menurut Ashadi Siregar, istilah kebudayaan massa sering  disaling-pertukarkan dengan kebudayaan pop(uler), termasuk oleh  penyunting buku ini. Sebab, berdasarkan pandangan MacDonald yang dikutip  Hikmat Budiman dalam Lubang Hitam Kebudayaan (hal.114) tadi, keduanya  memiliki perbedaan yang sering tak disadari oleh banyak orang. Pembeda  paling penting di antara keduanya tidak terutama terletak pada jumlah  khalayak yang menerimanya, melainkan lebih pada motif di belakang  produksi yang menghasilkan dua jenis produk budaya tersebut. Budaya  massa jelas budaya yang semata-mata dan secara langsung merupakan objek  untuk konsumsi massa, sedangkan budaya populer tak melulu hanya  dikonsumsi massa tapi juga sering dikonsumsi oleh kalangan  elit-terpelajar.
Sebagai sebuah kumpulan tulisan, buku ini merupakan pengantar-memadai  untuk mengenal kebudayaan massa berikut contoh-contohnya yang berkembang  di Indonesia ini. Menariknya, contoh-contoh tersebut diberikan  sekaligus dianalisis oleh para ahli di bidangnya. Misalnya, Clifford  Geertz yang mengambil contoh “kesenian populer” dalam tradisi Jawa;  Kuntowijoyo yang mengambil contoh pergeseran sensibilitas pers masa Orde  Baru; Umar Kayam yang menggambarkan secara ringkas perkembangan  kebudayaan massa dalam film, musik, seni pertunjukan, dan sastra; Marwah  Daud Ibrahim, Danarto, Krishna Sen, dan Saraswati Sunindyo yang  membahas citra wanita dalam berbagai media; atau Ashadi Siregar, Sarlito  W. Sarwono dan Jalaluddin Rahmat yang mengangkat contoh gaya hidup anak  muda sekarang ini; dan tak ketinggalan adalah Bre Redana serta Yasraf  Amir Piliang yang membahas gaya hidup konsumerisme berikut motif di  belakangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar